Senin, 07 Januari 2019

PRODUK UNDANG-UNDANG TENTANG KEHUTANAN RI

PRODUK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEHUTANAN
Dosen Penanggungjawab
Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si
Oleh:
Lazuardi Agung Nugroho
171201031
Hut 3B






  
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019


Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropis basah (tropical rain forest) terluas kedua di dunia setelah Brazilia. Namun demikian, sejak tiga dekade terakhir ini kawasan hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini selain karena jumlah penduduk yang mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan terus meningkat dari tahun ke tahun, juga terutama karena pemerintah secara sadar telah me-ngeksploitasi sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state revenue) yang paling diandalkan setelah sumber daya alam minyak dan gas bumi

Dari sisi pembangunan ekonomi, eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan pemerintah telah memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Melalui kebijakan pemberian konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), atau konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) pemerintah mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan dan devisa negara, menyerap tenaga kerja, menggerakan roda perekonomian dan meningkatkan pendapatan asli daerah.Tetapi, dari sisi yang lain, pemberian konsesi HPH dan HPHH  serta HTI kepada pihak Badan Usaha Milik Suasta (BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga menimbulkan bencana nasional, karena kerusakan sumber daya hutan akibat eksploitasi yang tak terkendali dan tak terawasi secara konsisten selain menimbulkan kerugian ekologi  (ecological cost) yang tak terhitung nilainya, juga menimbulkan kerusakan sosial dan budaya (social and cultural cost), termasuk pembatasan akses dan penggusuran hak-hak masyarakat serta munculnya konflikkonflik atas pemanfaatan sumber daya hutan di daerah. 

Dengan eksploitasi yang terus berlanjut, maka Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terus mencanangkan peraturan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 perihal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia ialah sebagai berikut:
  1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan MPR;
  3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
  4. Peraturan Pemerintah (PP)
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi;
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

* UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tentang Kehutanan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas, perlu ditetapkan undang-undang tentang Kehutanan yang baru.

         - Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang    
Pasal 15
(1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, yang didasarkan atas rencana tata ruang.
(2) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan bertahap sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.

Pasal 16
(1) Dalam pemanfaatan ruang dikembangkan :
a. pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya sesuai dengan asas penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. perangkat yang bersifat insentif dan disinsentif dengan menghormati hak penduduk sebagai warganegara.
(2) Ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir a, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
       - Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Hadirnya UU No. 5 1990, selama lebih dua dekade ini telah mampu melindungi keanekaragaman hayati Indonesia, meski belum sepenuhnya efektif. Seiring meningkatnya intensitas pembangunan serta makin masifnya skala kerusakan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, mendesak untuk segera dilakukan revisi UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDAE). Didalam UU tersebut terdapat banyak hal yang sudah tidak relevan lagi serta banyak kelemahan, baik dalam aspek keterwakilan ekosistem sebagai kawasan konservasi, rendahnya sanksi pidana sehingga tak menimbulkan efek jera bagi pelaku, masih tingginya jumlah spesies yang perlu dilindungi, meningkatnya perdagangan satwa ilegal, belum diaturnya hal-hal penting seperti invasive alien species dan zoonosis, serta belum adanya mekanisme pengaturan dan perlindungan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik sebagai bagian dan potensi keanekaragaman hayati Indonesia.
Pasal 2
Pada dasarnya semua sumber daya alam termasuk sumber daya alam hayati harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan umat manusia sesuai dengan kemampuan dan fungsinya.
Namun, pemanfaatannya harus sedemikian rupa sesuai dengan Undangundang ini sehingga dapat berlangsung secara lestari untuk masa kini dan masa depan.
Pemanfaatan dan pelestarian seperti tersebut di atas harus dilaksanakan secara serasi dan seimbang sebagai perwujudan dari asas konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 3
Sumber daya alam hayati merupakan unsur ekosistem yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Namun, keseimbangan ekosistem harus tetap terjamin.
Pasal 4
Mengingat pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, maka masyarakat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi.

* Ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) Tentang Pembaruan Agraria

setelah memberikan membahas suatu kerangka pengaturan mengenai keberadaan dan hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam dalam UUD 1945 dan TAP MPR No. IX/MPR tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, selanjutnya pembahasan akan diturunkan pada tingkatan undang-undang. 

      - Nomor IX/MPR/200 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

Pasal 1
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam merupakan landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam.
Pasal 2
Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 3
Pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Pasal 4
Negara mengatur pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat
Pasal 5
Pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:
a.    Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.    menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c.    menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d.    mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia;
e.    mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;
f.    mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;
g.    memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan;
h.    melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;
i.    meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam;
j.    mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;
k.    mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;
l.    melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.

* Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Beberapa alasan dikeluarkannya Perpu oleh Pemerintah-RI, adalah:
1.        Bahwa Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mengatur kelangsungan perizinan atau perjanjian yang telah ada sebelum berlakunya UU tersebut.
2.        Dengan tidak diaturnya kelangsungan perizinan dan perjanjian tersebut dianggap telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi usaha pertambangan terutama bagi investor yang telah memiliki izin sebelum berlakunya Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 sehingga menempatkan pemerintah dalam posisi sulit untuk mengembangkan investasi.
3.        Dengan demikian diperlukan peraturan perundang-undangan untuk mendorong kepercayaan investor. (Konsideran menimbang Perpu No. 1 Tahun 2004).
Dalam Pasal 1 Perpu ini dikatakan bahwa bagi pemegang izin dan perjanjian pertambangan diperkenankan untuk melakukan pertambangan di kawasan hutan lindung sesuai dengan izin dan perjanjiannya. Ketentuan ini merupakan dispensasi (pengecualian dari suatu larangan atau kewajiban hukum), yakni Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang No. 41/1999 sebagai norma larangan dikecualikan (tidak diberlakukan) oleh Pasal 1 Perpu No.1/2004 bagi pemegang izin yang diperoleh sebelum Undang-Undang N0. 41/1999 berlaku.
Apabila dilihat dari substansi Perpu No. 1/2004, latar belakang dikeluarkannya Perpu ini adalah hanya untuk memberikan kedudukan dan kepastian terhadap izin-izin dan perjanjian pertambangan di kawasan hutan lindung dari akibat adanya larangan oleh Undang-Undang No. 41/1999. Latar belakang keluarnya Perpu ini amat lemah. Tujuan dikeluarkannya Perpu ini pun tidak menyentuh persoalan ‘penyelamatan negara’. Justru dengan keluarnya Perpu ini dapat membahayakan keselamatan negara dalam konteks ‘penyelamatan hutan lindung’ yang menjadi tujuan utama diterbitkannya Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan

 * Peraturan Pemerintah 

·         - PP 6/2007 dan PP 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan

Pada PP 6/2007 dan PP 3/2008 terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang hutan lindung, yaitu pasal 23 sampai dengan 30 dan pasal 92 tentang Hutan Kemasyarakatan.Secara umum, pasal 23 sampai dengan 30 menjelaskan kegiatan pemanfaatan hutan lindung yang dapat dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Terdapat tiga kegiatan utama yang dapat dilaksanakan pada hutan lindung, yaitu pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Masing-masing kegiatan dilakukan tanpa harus mengubah fungsi lindungnya, dilakukan dengan mengajukan ijin terlebih dahulu pada yang berwenang sesuai peraturan perundangan, mempunyai jangka waktu tertentu, luas dan jumlah tertentu serta ijin dapat diperpanjang sesuai ketentuan yang ada. Sedangkan pasal 92 dan seterusnya menjelaskan bahwa kegiatan pemanfaatan di hutan lindung dapat dilakukan melalui kegiatan Hkm.        

     Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2007 tentang Dana Reboisasi Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan
Pasal I
Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4207) diubah   sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(5) Dana Reboisasi yang harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) disetor dalam mata uang dollar Amerika Serikat (USD) dengan biaya transfer/korespondensi dibebankan pada Wajib Bayar. 

  
Peraturan Pemerintah yang Mengatur Kawasan Hutan
1. PP No. 54/1957 Tentang Pengelolaan Hutan
2. PP No. 21/1970 Tentang HPH dan HPHH
3. PP No. 33/1970 Tentang Perencanaan Hutan
4. PP No.28/1985 Perlindungan Hutan
5. PP No.29/1982 Analisis Dampak Lingkungan
6. PP No.47/1997 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
7. PP No.18/1994 Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional,Taman Hutan Raya   dan Taman Wisata Alam
8. PP No.62/1998 Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutana kepada Daerah
9. PP No.68/1998 Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
10. PP No.25/2000 Batas Kewenangan Pusat dan Daerah
11. PP No.4/2001 Keharusan Pengembalian Lingkungan yang Rusak
12. PP No.34/2002 Tata Guna dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Pemanfaatan Hutan dan                Penggunaan Kawasan Hutan
13. PP No.44 Tahun 2004 Perencanaan Kehutanan
14. PP No.45/2004 Perlindungan Hutan

* Peraturan Presiden
·         - Keppres No. 32/1990
Pasal  1
Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian Lingkungan Hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan Pembangunan berkelanjutan.
2. Pengelolaan kawasan lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung.
3. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan lindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.
4. Kawasan Bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama.
5. Kawasan Resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air.
6. Sempadan Pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai.
7. Sempadan Sungai adalah Kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
8. Kawasan sekitar Danau/Waduk adalah kawasan tertentu disekeliling danau/waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
9. Kawasan sekitar mata air adalah kawasan disekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan fungsi mata air.
10. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan  yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan peragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
11. Kawasan suaka alam Laut dan Perairan lainya adalah daerah yang mewakili ekosistem khas di lautan maupun perairan lainya, yang merupakan habitat alami yang memberikan tempat maupun perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang ada.
12. Kawasan Pantai berhutan Bakau  adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.
13. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan rekreasi.
14. Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian yang terutama dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau bukan asli, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan, budaya, pariwisata dan rekreasi.
15. Taman Wisata Alam adalah kawasan Pelestarian alam di darat maupun di laut yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
16. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun bentukan geologi yang khas.
17. Kawasan Rawan Bencana Alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam.

       - Keppres No. 41/2004
Keppres No. 41/2004 ditujukan untuk memberikan ijin kepada 13 perusahaan tambang yang telah ada sebelum berlakunya UU No. 41/1999 untuk melanjutkan kegiatannya sampai berakhir ijin atau perjanjian dimaksud. Walaupun SK ini jelas bertentangan dengan pasal 38 ayat 4 UU No.41/1999. Tetapi Keppres ini menyebutkan bahwa ijin didasarkan atas prinsip pinjam pakai sesuai ketentuan Menteri Kehutanan. Karena itu terbuka ruang untuk operasional lapangan melalui SK Menteri Kehutanan sehingga kerusakan hutan lindung dapat diminimalkan, misalnya dalam bentuk aturan dan sangsi yang lebih tegas tentang upaya rehabilitasi dan reklamasi hutan.

  *Peraturan Menteri
·         Permen No. P.12/2004 tentang Jaminan Reklamasi di Hutan Lindung
Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2004  diatur bahwa penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan dilaksanakan atas dasar persetujuan menteri dalam bentuk izin kegiatan atau izin pinjam pakai kawasan hutan lindung dengan kompensasi. Kemudian berdasarkan permohonan diajukan, Kepala Badan Planologi Kehutanan atas nama Menteri menerbitkan izin kegiatan eksplorasi di dalam kawasan hutan lindung.
·       P. 55/Menhut-Ii/2006 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara
Dalam upaya menjamin kelestarian hutan rakyat, maka pengaturan atau penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat menjadi suatu hal yang penting dan strategis untuk diperhatikan sehingga kelancaran dan ketertiban dalam pelaksanaan penatausahaan hasil hutan (PUHH) dari hutan rakyat dapat berjalan dengan baik, untuk mencapai hal tersebut maka penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat memerlukan payung hukum atau dasar hukumnya yang jelas dan tepat. 

*Peraturan Daerah
Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Nunukan
Pasal 2
  1. Tujuan penyelenggaraan Hukum adalah untuk mewujudkan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat di dalam hutan dan disekitar hutan melalui manfaat ekologi, ekonomi dan sosial- budaya dari hutan secara seimbang dan berkelanjutan.
  2. Berdasarkan status fungsi, kondisi dan potensi hutan, pengelolaan Hukum mempunyai tujuan khusus yaitu :
    • a. Pemanfaatan kayu;
    • b. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
    • c. Pemanfaatan air.
    • d. Pemanfaatan jasa wisata alam; dan
    • e. Pemanfaatan flora dan fauna yang tidak dilindungi.
  3. Suatu wilayah pengelolaan Hukum dapat dikelola untuk satu atau lebih tujuan khusus, apabila memenuhi seluruh kriteria kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.                                           Pasal 3
  1. Ruang lingkup penyelenggaraan Hukum meliputi : penetapan wilayah pengelolaan, penyiapan masyarakat, perizinan, pengelolaan hutan, pembinaan, pengendalian, dan sanksi.
  2. Penyelenggaraan Hukum melibatkan peranan dan fungsi pemerintah daerah, masyarakat, perguruan tinggi dan lembaga kemasyarakatan.
Referensi :

hukum.unsrat.ac.id/uu/mpr_9_01.htm
https://www.ndraweb.com/2018/03/urutan-peraturan-perundangan-indonesia.html
www.sanitasi.net/undang-undang-no-41-tahun-1999-tentang-kehutanan.html
https://kamoenyo.wordpress.com/2011/07/23/undang-undang-nomor-24-tahun-1992-tentang-   penataan-ruang/
lintangluku.net/perlunya-revisi-uu-nomor-5-tahun-1990/
https://myhhairanii.blogspot.com/2019/01/produkundang-undang-republik-indonesia.html